5 Penyebab hati yang kosong menurut Imam Al Ghozali

Hati adalah cermin yang disediakan untuk menampakkan padanya hakekat kebenaran dalam segala hal. Sesungguhnya hati itu kosong dari pengetahuan, dimana kekosongan itu terjadi disebabkan oleh 5 hali ini.

Pertama : kekurangan pada hati itu sendiri, seperti hati anak-anak, Tidak tampak padanya pengetahuan, karena kekurangannya.

Kedua : Karena kekotoran perbuatan maksiat dan keji yang berlapis-lapis diatas wajh hati lantaran banyak hawa nafsu. Sesungguhnya yang demikian itu, mencegah bersih dan cemerlangnya hati, lalu tercegahlah lahir kebenaran padanya, karena kegelapan dan berlapis lapisnya.

Dalam kaitan ini, maka Nabi Muhammad saw, bersabda :

من قارف ذنتا فارقه عقل لا يعود اليه ابدا

( man qaarafa dzanban faaraqahu 'aqlun laa ya'udu ilaihi abadan )

Artinya: " Barangsiapa mengerjakan dosa, niscaya ia diceraikan oleh akal, yang tidak akan kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya ".

Maksudnya, terdapat kotoran dalam hatinya, yang tidak akan hilang bekasnya. Karena tujuannya, bahwa diikutkannya dosa itu dengan kebaikan, yang akan tersapu dosa itu dengan kebaikan tersebut..

Kalau ia mengerjakan kebaikan dan tidak didahului oleh kejahatan, maka hilanglah faedah kebaikan, akan tetapi hati itu kembali kepada keadaannya, sebelum kejahatan dan tidak akan bertambah cahayanya.

Inilah kerugian yang nyata dan kekurangan yang tidak dapat dielakkan. Cermin yang kotor, tidaklah kemudian dibersihkan dengan alat yang mengkilatkan, seperti yang dibersihkan dengan alat yang mengkilatkan karena bertambah cemerlang, tanpa adanya kekotoran yang terdahulu.

Menghadapkan diri kepada mentaati Allah dan berpaling dari kehendak hawa nafsu, itulah yang mencemerlangkan dan membersihkan hati. Karena itulah Allah Ta'ala berfirman :

والذين جاهدوا فينا لنهد ينهم سبلنا

( wal ladzina jaahaduu fiinaa lanah diyannnahum subulanaa )

Artinya :" Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada jalan Kami " QS Al Ankabut 69

Ketiga : Hati itu dipalingkan dari arah hakekat yang dicari. Sesungguhnya hati orang yang taat dan sholeh, meskipun bersih, maka tidaklah jelas kepadanya kecemerlangan kebenaran, karena ia tidak mencari kebenara. Ia tidak secara kebetulan dengan cerminnya, akan arah yang dicarinya. Kadangkala adalah kelengkapan cita-citanya, dengan penguraian amalan taat badaniah.

Atau dengan penyediaan sebab-sebab  kehidupan. Pikirannya tidak ditujukan kepada memperhatikan hadlarat Ketuhanan dan hakekat ilahiyah yang tersembunyi. Tidaklah terbuka baginya, selain apa yang dipikirkan dari yang halus-halus mengenai bahaya amalan dan yang tersembunyi mengenai kekurangan kekurangan diri, kalau ia bertafakur kepadanya, atau tentang kepentingan-kepentingan kehidupan, jika ia bertafakur pada yang demikian.

Manakala ada ikatan cita-cita dengan amal perbuatan dan penguraian ketaatan  mencegah daripada tersingkapnya kecemerlangan kebenaran, maka apakah sangkaan anda tentang orang yang menyerahkan cita-citanya kepada nafsu syahwat duniawiah, kepada segala kesenangan dan yang berhubungan dengan itu? Bagaimana ia tidak tercegah daripada terbukanya kehakekatan,

Kempat : hijab (dinding). Sesungguhnya orang yang taat, yang memaksakan hawa nafsunya, yang mengarahkan pikirannya pada sesuatu hakekat kebenaran, kadangkala tidak terbuka juga yang demikian baginya, karena terdinding daripadanya, disebabkan aqidahnya yang telah lalu sejak kecil, dengan jalan taqlid (ikut-ikutan) dan menerimanya dengan baik sangka.

Sesungguhnya yang demikian itu, menghambat diantara dia dan hakekat kebenaran, mencegah daripada terbukanya hati, yang menyalahi daripada yang didapatinya dari taqlid yang nyata.

Ini juga suatu hijab (penghalang) yang besar, yang menghijabkan kebanyakan orang-orang ahli ilmu kalam dan orang-orang yang fanatik kepada mazhab-mazhab. Bahkan juga kebanyakan orang-orang yang shaleh, yang bertafakur tentang alam malakut langit dan bumi. Merteka terhijab dengan akidah-akidah taqlid yang telah membeku pada diri mereka, telah melekat pada hati mereka, dan menjadi hijab bagi mereka untuk memeperoleh hakekat kebenaran.

Kelima : bodoh tentang arah yang akan diperoleh padanya yang dicari. Sesungguhnya orang yang mencari ilmu tidak mungkin memperoleh ilmu dengan kebodohan,  kecuali dengan mengingat ilmu yang sesuai dengan yang dicari. Maka terang benderanglah hakekat yang dicari untuk hatinya, karena pengetahuan yang dicari itu bukanlah fitriah (diperoleh sejak lahir). Ia tidak dapat ditangkap, kecuali dengan jalan ilmu yang menghasilkan. Bahkan semua ilmu itu tidak berhasil, kecuali dari dua ilmu yang mendahului, tersusun dan bercampur dengan cara yang khusus.

Dari percampuran kedua ilmu itu, maka menghasilkan ilmu yang ketiga, sebagaimana anak dari hasil percampuran lelaki dan wanita.

Sama halnya juga, orang yang bermaksud memperoleh kuda bibit, tidak mungkin berasal dari keledai unta dan manusia. Ia berasal dari hasil khusus kuda jantan dan betina,. Demikian pula tiap-tiap ilmu, memiliki dua asal khusus. Diantara keduanya memiliki jalan  dalam cara percampurannya., yang dari percampuran itu menghasilkan ilmu.

Kebodohan tentang asal usul dan cara percampuran, itulah pencegah daripada memperoleh ilmu.

Contoh mengenai apa yang telah disebutkan dari sejak kebodohan mengenai arah terletaknya bentuk,  barang. Bahkan contohnya ialah, orang ingin melihat kuduknya (tengkuk) misalnya dengan cermin. Apabila ia mengangkat cermin dari arah mukanya, maka ia tidak sejalan dengan arah kuduk. Kalau kuduk itu tidak tampak dalam cermin. Kalau cermin itu diangkat di belakang kuduk dan berkebetulan dengan dia, tentu ia telah berpaling dengan cermin dari matanya. Ia tidak melihat cermin dan bentuk kuduknya tidak dalam cermin. Tentu ia memerlukan cermin lain yang diletakkan dibelakang kuduk. Dari hadapannya, kira-kira ini dapat dilihatnya. Ia menjaga keserasian anatara letak kedua cermin itu, sehingga nampak bentuk kuduk dalam cermin. Kemudian nampak bentuk cermin ini dalam cermin yang lain, yang berhadapan dengan mata. Kemudian mata dapat melihat bentuk kuduk.

Seperti itu pula, dalam memetik segala macam ilmu, terdapat jalan-jalan yang menakjubkan. Padanya ada hal-hal yang diada-adakan. dan diselewengkan, lebih menakjubkan dari yang disebutkan tentang cermin tadi., yang sukar diperoleh diatas bumi yang luas ini. orang-orang yang memperoleh petunjuk kepada caranya mendapatkan hal yang diada-adakan itu.

Inilah sebab-sebab yang mencegah hati, daripada mengetahui hakekat segala hal. Bila tidak demikian, maka semua hati itu menurut fitrahnya, pantas untuk mengetahui semua kehakekatan, karena hati itu urusan Ketuhanan yang Mulia, yang membedakan dengan zat yang lainnya, dengan kekhususan dan kemuliaan itu. Dalam hal ini digambarkan dengan firman Allah di dalam Al Qur'an :

( Inna "aradlnal amaanata 'alaa samaawatii wal ardli wal jibaali, fa abaina an yahmilnahaa  wa asyfaqna minha wa hamalahal insaan )

Artinya : "Sesungguhnya kami telah memberikan amanat (tanggung jawab) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan memikulnya dan takut terhadap itu, sedangkan manusia mau memikulnya" ) 

Firman ini adalah merupakan isyarat bahwa manusia itu memilki kekhususan yang membedakannya dari langit, bumi dan gunung-gunung, yang dengan kekhususan itu ia mau dan mampu memikul amanah Allah.

Yang dimaksud dengan amanah itu ialah ma'rifah (mengenal Allah) dan tauhid. Hati tiap tiap anak Adam (manusia) itu pada asalnya, bersedia memikul amanah dan sanggup memikulnya. Akan tetapi sebab-sebab yang telah disebutkan diatas, membawa manusia terlambat untuk tampil melaksanakannya dan sampai pada pentahkikannya (pelaksanaan yang sebenar-benarnya).

Ini adalah merupakan isyarat kepada sebagian sebab-sebab tersebut yang menjadi hijab diantara hati dan alam malakut. Kepada itu pula diisyaratkan oleh  Ibnu Umar ra. bahwa Ibnu Umar berkata: "Orang bertanya kepada Rasulullah, Dimanakah Allah, di bumi ataukah dilangit ? Rasulullah menjawab: Dalam hati hambanya yang beriman"

Oleh karena itu Umar ra, berkata: " Hatiku melihat Tuhanku " Karena telah terangkat  hijab dengan taqwa. Barangsiapa telah terangkat hijab diantaranya dan Allah, maka menjadi jelaslah bentuk 'alamul mulki (alam nyata) 'alamul malakul (alam batin) dalam hatinya. Ia melihat syurga. Lintang sebagiannya adalah langit dan bumi. Adapun jumlahnya maka lebih banyak dari langit dan bumi, karena langit dan bumi itu ibarat dari 'alamul mulki dan  'alamusy syahadah (alam nyata dan alam yang dapat disaksikan). Alam ini meskipun luas tepinya, berjauhan sudut-sudutnya tetapi pada umumnya berkesudahan (berakhir).

Post a Comment

Previous Post Next Post