Tujuan akhir dari derajat insaniah itu terdapat tingkat tingkat yang terduga jumlahnya, karena kurang dan kelebihan pada manusia, disebabkan banyak dan sedikitnya ilmu pengetahuan guna memperolehnya. Karena sebagian hati berhasil untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu, dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya (mubada-ah) dan membukakannya (mukasyafah). Sebagian mereka, memperolehnya dengan jalan belajar dan usaha, kadang kadang segera berhasil, dan kadangkala terlambat untuk memperolehnya.
Pada posisi ini berbeda bedalah tingkat ulama, hukama (para ahli hikmat atau filsafat), para nabi dan wali, yang tingkat meningginya tidak terhingga padanya, karena ilmu Allah swt tidak berkesudahan. Tingkat yang tertinggi, ialah tingkat nabi, yang terbuka baginya tiap tiap hakekat atau yang terbanyak dari hakekat itu, tanpa usaha yang memberatkan diri, akan tetapi dengan pembuka ketuhanan dalam waktu yang relatif singkat,
Dengan kebahagiaan ini, seorang hamba Allah, mendekati Allah dengan arti, hakekat dan sifat, tidak dengan tempat berdasarkan jarak jauhnya. Tempat pendakian tingkat tingkat ini, ialah tempat orang orang yang berjalan kepada Allah ta'ala dan tempat itu tak terhingga.
Sesungguhnya masing masing orang yang berjalan itu, tahu akan tempatnya yang menyampaikannya dalam perjalanan. Ia mengetahui tempat itu serta mengetahui tempat tempat dibelakangnya. Adapun yang dihadapannya, maka tidaklah sampai pada hakekat pengetahuannya.
Akan tetapi kadangkala ia membenarkan yang dihadapan itu, karena beriman kepada yang ghaib, sebagaimana kita beriman kepada kenabian dan nabi, dan membenarkan adanya. Akan tetapi tidak mengetahui hakekat kenabiannya, selain nabi sendiri. Sebagaimana anak dalam kandungan (janin) tiada mengetahui keadaan anak kecil. Dan anak kecil tidak mengetahui keadaan anak yang akan dewasa (mumayyiz) dan pengetahuan dlaruri yang terbuka baginya. Anak yang akan dewasa tidak akan mengetahui keadaan anak orang yang berakal dan pengetahuan nadlari yang diusahakannya. Maka seperti itu pulalah orang yang berakal tiada akan mengetahui segala kelebihan lemah lembut dan rakhmat yang dibuka oleh Allah kepada para wali dan nabi nabi Nya. Bentuk rakhmat apapun yang dibuka oleh Allah kepada manusia, maka tiada siapapun yang bisa menahannya. Rakhmat itu diberikan lantaran kemurahan dan kemuliaan Allah swt, tiada kikir kepada seeorangpun. Tetapi yang demikian dalam hati yang mencari pemberian rakhmat Allah ta'ala.
Datang mengambil pemberian itu ialah dengan membersihkan diri dan mensucikan hati dari kekejian dan kekotoran yang diperoleh daripada budi pekerti tercela.
Semua itu adalah merupakan isyarat, bahwa cahaya ilmu tidak tertutup ( terhijab) dari hati, karena kikir dan larangan dari pihak yang memberi nikmat. Maha suci ia dari sifat kikir dan melarang.
Akan tetapi cahaya ilmu itu tertutup ( terhijab) karen kekejian, kekotoran dan kesibukan dari pihak hati itu sendiri. Sesungguhnya hati itu seperti bejana (untuk tempat air).
Selama masih penuh dengan air, maka ia tidak dimasuki oleh udara. Hati yang disibukkan oleh selain Allah, maka tidak dimasuki oleh ma'rifah (mengenal) keagungan Allah Ta'ala.
Dari keseluruhan ini, jelaslah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu dan hikmah. Dan yang termulia dari dari segala macam itu ialah : ilmu mengenal Allah, sifat sifatNya dan af'al Nya (perbuatanNya). Itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaannya itu kebahagiaan dan kepatuhannya disisi Tuhan yang Maha Agung dan Maha Sempurna.
Tubuh manusia adalah tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat ilmu. Ilmu adalah merupakan maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah manusia dijadikan.
Sebagaimana kuda bersekutu dengan keledai tentang kuatnya membawa bebean dan khusus bagi kuda kuatnya lari mengejar musuhdan berlarian serta kehebatan bentuk, karena itulah kuda itu tersebut dijadikan karena spesialisasi tersebut. Kalau spesialisasi itu kosong (tidak dimilki), maka turunlah kuda itu ke lembah keledai.
Begitu pula manusia. Ia bersekutu dengan kuda dan keledai dalam beberapa hal. Ia berbeda dari keduanya dalam beberapa hal, yang menjadi kekhususannya. Kekhususan itu setengah dari sifat sifat malaikat yang dekat disisi Tuhan Semesta Alam. Dalam kedudukannya manusia adalah diantara hewan dan malaikat.
Sesungguhnya manusia itu jika dilihat dari segi makanan dan berketurunan, maka ia adalah tumbuh tumbuhan. Bila dilihat dari segi ia merasa dan bergerak dengan kemauan sendiri (ikhtiar), maka ia adalah hewan. Dari segi bentuk dan tegaknya, adalah seperti bentuk yang diukir pada dinding tambok. Adapun kekhususannya ialah : mengetahui hakekat segala sesuatu. Barang siapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya dengan cara meminta tolong untuk ilmu dan amal, maka ia telah serupa dengan malaikat. Ia berhak dihubungkan dengan malaikat. Layaklah malaikat dan rabbai (orang yang dekat dengan Tuhan), sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang sifat Yusuf as, dengan firmannya :
ماهذا بشرا ان هذا الا ملك كريم
( Maa hadza basyaron in hadza illa malakun kariim )
Artinya : " Ini bukanlah manusia, tetapi ini adalah malaikat yang mulia " QS Yusuf 31
Barang siapa berbuat menurut kemaunnya untuk memenuhi kesenangan badaniah, ia makan sebagaimana hewan makan, maka ia telah turun ke lembah yang sejajar dengan hewan. Ia menjadi kebal seperti sapi, atau rakus seperti babi atau penjilat seperti anjing dan kucing, pendengki seperti unta, takabur seperti harimau, penipu seperti pelanduk atau mengumpulkan sifat sifat itu semua seperti syetan durhaka.
Tiap tiap anggota tubuh dan pancaindera manusia, dapat dan mungkin diminta tolong untuk menempuh jalan yang akan menyampaikan nya kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa menggunakan anggota tubuh dan pancainderanya sampai kepada Allah, maka ia akan memperoleh kemenangan. Dan barangsiapa yang berpaling dari Nya, maka ia akan merugi dan kecewa.
Keseluruhan kebahagiaan yang demikian, ialah bahwa menjadikan bertemu dengan Allah itu menjadi tujuannya, sedangkan negeri akhirat itu adalah tempatnya yang tetap. Dunia adalah merupakan tempat tinggalnya, sedangkan tubuh adalah ibarat kendaraannya. Anggota badan adalh pelayan pelayannya.
Karena itu tetaplah ia yakni yang mengetahui dari manusia itu, dalam hati yang berada ditengan tengah kaerajaannya, seperti raja. Berlakulah kekuatan daya khayal (imajinasi) yang tersimpan pada depan otak, sebagai pengurus pos nya, karena semua berita yang diketahui dengan pancaindera terkumpul padanya. Berlakulah kekuatan penjaga yang tempatnnya diujung otak, sebagai penjaga gudangnya, berlakulah pula lidah sebagai juru bahasa, anggota badan yang bergerak sebagai juru tulisnya, dan pancaindera yang lima sebagia mata matanya. Ia mewakilkan kepada masing amsing pancaindera itu, menyampaikan berita berita yang terjadi dari semua penjuru,
Ia mewakilkan kepada mata mengenai dunia warna, kepada pendengaran mengenai dunia suara, kepada penciuman sebagai dunia aroma bau bauan, dan begitulah seterusnya.
Semua memiliki berita yang didapatnya dari dunia dunia itu, dan disampaikannya kepada dunia khayalan, yang seolah olah ia seperti, petugas kantor pos. Dan petugas pos itu menyerahkan kepada penjaga gudang. Dialah yang menjaga. Oleh petugas gudang itu disampaikan kepada raja, lalu raja itu mengambil apa yang diperlukannya pada mengatur kerajaannya dan menyempurnakan perjalannya yang menjadi tujuan. Ia mencegah musuhnya yang membahayakan dan menolak perampok perampok di jalanan.
Apabila manusia telah berbuat demikian, maka ia memproleh taufik, berbahgia dan bersyukur atas nikmat Allah. Apabila ia kosong dari keseluruhan ini atau dipergunakannya, untuk memelihara musuhnya, yaitu nafsu syahwat, kemarahan dan hal hal lain yang segera keuntungannya atau pembangunan jalannya, bukan pembangunan tempat tinggalnya. Dunia adalah jalan yang dilaluinya, sedangkan tanah air atau tempat menetapnya adalah kampung akhirat, niscaya orang tersebut memperoleh kehinaan, celaka, mengingkari nikmat Allah, menyia nyiakan tentara Allah, menolong musuh musuh Allah dan menghina barisan Allah. Maka hendaklah ia dikutuk dan dijauhkan dari rakhmat Allah di dunia maupun di akhirat. Kita berlindung dari kepada Allah dari hal yang demikian.