Perbedaan mengenai ILHAM, WAHYU dan ISTIBSHAR menurut hujjatul Islam Imam Al Ghozali

Ilmu yang diperoleh dengan tidak melalui dalil dinamakan Ilham, sedang yang memakainya disebut istibshar. Kemudian yang jatuh dalam hati, tanpa usaha, belajar dan kesungguhan dari seseorang, itu terbagi pada : yang tiada diketahui oleh hamba bagaimana memperolehnya dan dari mana diperolehnya dan kepada yang muncul bersamanya, diatas sebab yang diperolehnya ilmu itu, yaitu : kesaksian malaikat yang mencampakkan ke dalam hati. Yang pertama dinamakan ilham dan pencampakkan ke dalam hati (ilham wa naftsan firrau'i), yang kedua dinamakan wahyu dan tertentu bagi nabi. Yang pertama tertentu bagi wali-wali dan orang pilihan Allah (al shafiya') sedangkan yang sebelumnya, yang diusahakan dengan mencari dalil, tertentu bagi 'ulama.

Pada hakekatnya ialah: bahwa hati bersedia untuk menampak  didalam hakekat kebenaran tentang segala sesuatu. Hanya dibatasi (terhijab) diantara hati dan hakekat kebenaran tadi. Seperti : hijab yang terbentang, yang membatasi antara cermin hati (mir-atul qalb) dan luh mahfudh, yang terukir padanya ketetapan Allah hingga hari kiamat.

Begitu pula, kadangkala berhembus angin yang halus dan terbukalah hijab dari mata hati. Lalu jelaslah sebagian yang tertulis dalam luh mahfudh dan yang demikian itu terjadi  ketika tidur, lalu mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang. Juga terbuka pada waktu tidur, sehingga terangkatlah hijab dengan kehalusan yang tersembunyi daripada Allah swt, lalu cemerlanglah didalam hati dari belakang tutupan ghaib, suatu dari keganjilan ilmu. Sekali seperti kilat yang menyambar berturut-turut hingga suatu batas dan kekal dalam keadaan yang jarang terjadi.

Ilham tidak terpisah dengan usaha tentang ilmu itu sendiri, baik tentang tempat maupun sebab. Tetapi ia terpisah dari segi hilangnya hijab. Yang demikian itu tidaklah dengan usaha seseorang. Ilmu berhasil dalam hati kita, dengan perantaraan malaikat. Firman Allah Ta'ala :

( wa maa kaana li basyarin an yukallimahullahaahu, illa wahyan au min waraa-i hijaabin au yursila rasuulan fa yuuhiya bi idznihi, maa yasya' )

Arinya: " Dan tiada seorangpun, akan dapat berkata-kata dengan Allah, melainkan dengan wahyu atau dibalik tabir atau diutusNya utusan. Lalu dengan ijinnya diwahyukanNya apa yang dikehendakiNya. "

Apabila anda telah mengetahui ini, maka ketahuilah bahwa kecendrungan ahli tasawuf itu kepada ilmu-ilmu keilhaman, tidak kepada ilmu-ilmu yabg dipelajari. Jalan yang ditempuh ialah, mendahulukan mujahadah (bersungguh-sungguh melawan nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan), menghilangkan sifat-sifat tercela, memutuskan semua hubungan dengan dunia dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah.

Manakala telah berhasil yang demikian, maka Allah memerintahkan hati hambaNya, menanggungnya dengan sinar nur ilmu. Apabila Allah telah memerintah urusan hati,, melimpahlah rakhmatNya kepada hati, terbukalah dada, tersingkap rahasia alam malakut, hilanglah dari wajah hati tabir kelalaian dengan kelemah-lembutan rakhmat dan cemerlanglah pada hati hakekat urusan ke-Tuhanan,

Para nabi-nabi dan wali-wali  telah terbuka urusan bagi mereka  dan melimpahkan nur ke dalam dadanya. Mereka tidak dengan belajar, memepelajari dan menulis buku-buku.
Tetapi dengan zuhud dunia, mengosongkan hati dari segala urusan dunia dan menghadapkan diri dengan penuh cita-cita kepada Allah. Barangsiapa yang dirinya bagi Allah, maka adalah Allah baginya.

Mereka berasumsi bahwa jalan demikian, pertama dengan memutuskan segala hubungan dengan dunia, mengosongkan hati daripadanya, memutuskan cita-cita dari keluarga, harta, anak, ilmu, kekuasaan dan kemegahan. Ia berkhilwah sendiri pada suatu sudut (rumahnya atau masjid), lalu mengerjakan segala fardlu dan sunat rawatib, ia duduk dengan kekosongan hati, terkumpul cita-cita. Pikirannya tidak  dengan bercerai dengan pembacaan Al Qur'an, memperhatikan tafsir, kitab hadits dal lain-lain.

Adapun para pengamat yang memiliki pemikiran, mereka tidak mengingkari adanya jalan tersebut, kemungkinannya dan terbaawanya pada maksud ini dengan jarang terjadi. Yang demikian itu adalah kebanyakan hal ikhwal para nabi dan wali. Tetapi mereka memandang sulitnya jalan tersebut, merasa lambat hasilnya, merasa jauh terkumpul syarat-syaratnya.

Seringkali dalam melakukan hal itu, hati semakin kacau, yang tumbuh dari was-was. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Hati seorang mukmin itu sangat berbolak-balik, dibandingkan dengan kuali yang mendidih panasnya" HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Miqdas bin Aswad

Pada waktu mujahadah, kadang-kadang badan itu rusak dengan timbulnya penyakit, akal bercampur was-was dan badan terasa sakit. Apabila tidak didahului dengan latihan jiwa dan pendidikannya dengan hakekat keilmuan, maka tumbuh dalam hati khayalan-khayalan yang merusak, yang akan tenang jiwa kepadanya pada masa yang panjang, sampai ia hilang. Banyaklah memakan usia sebelum memperoleh kemenangan.

Banyak orang shufi yang mengalami ini. Ia kekal dalam khayalan selama dua puluh tahun. Bila ia sudah meneguhkan pengetahuan dari sebelumnya, maka terbukalah sekarang segi kesangsian khayalan itu. Menyibukkan waktu dengan jalan belajar itu lebih terpercaya dan mendekati kepada maksud.

Mereka mendakwakan, bahwa yang demikian itu menyerupai dengan apa jikalau orang meninggalkan  belajar fiqh. Ia mendakwakan bahwa Nabi Muhammad saw, tidak belajar demikian. Ia menjadi ahli fiqh dengan wahyu dan ilham. Maka aku juga kadang-kadang demikian, dengan latihan yang rajin.

Siapa yang beranggapan demikian, ia telah menganiaya dirinya sendiri dan menyia-nyiakan umurnya. Bahkan ia seperti orang yang meninggalkan usaha, karena mengharap memperoleh gudang harta. Yang demikian itu mungkin saja, tetapi kecil kemungkinan akan berhasil.




                                                                     
     


Post a Comment

Previous Post Next Post