Tasawuf yang telah dilahirkan oleh Imam Al Ghazali yang mempertemukan antara ilmu batin dan ilmu lahir, sangat besar pengaruhnya terhadap Tasawuf di abad keenam dan ketujuh hijriyah. Dan kitab karya beliau Ihya Ulumuddin, sangatlah besar pengaruhnya di dunia Islam, baik bagi ulama-ulama fiqih maupun ulama-ulama Tasawuf. Tetapi usaha yang demikian tidak juga dapat menghambat pertumbuhan aliran Tasawuf yang lebih keras dari sebelumnya. Jika sekiranya Imam Al Gazhali telah menyatakan bahwasanya buklanlah akal alat otentik didalam mencari hakikat, hanyalah dengan rasa, namun dalam perkembangan Tasawuf mencari abad keenam datanglah aliran baru, yaitu perpaduan Tasawuf dengan Filsafat.
Tasawuf abad keenam dan ketujuh memiliki keistimewaan ialah lanjutan penyelidikan dengan cara filosofis di dalam membuka hijab (dinding yang membatas hidup lahir dengan alam rohani), mencari apa yang tersmbunyi de belakang layar itu.
Latihan-latihan (riadhah) dan perjuangan batin (mujahadah) lebih kuat daripada abad-abad sebelumnya. Melemahkan kekuatan indera lahir dan memperkuat kekuatan indera batin, memeberi makanan roh dan akal dengan ibadah dan zikir.
Dan banyaklah telah disusun di abad ini, ilmu ganjil-ganjil yang awalnya belum dikenal atau masih samar-samar, yang baru bersifat pengalaman saja.
Maka banyak terdengar kata-kata :
Kasyaf (Tirai Tersingkap)
Tajalli (Tuhan telah jelas nyata)
Al Wihdat 'ul Muthalaqah (Kesatuan Yang Mutlak)
Al Hulul (Penjelmaan 'Abid dengan Ma'bud)
Dan empat permasalahan yang ada di sekeliling Tasawuf diantaranya :
1. Al Mujahadah
Yaitu murid di dalam alam Zauq dan Mawajid (perasaan), dan muhasabah agar tercapai maqam (tempat) yang tinggi daripada kedudukannya semula.
Banyak cara di dalam melakukan mujahadah, misalnya tafakur, bermenung dengan memejamkan mata (mengingat dan menyebut nama Allah), Dan menimbulkan asyik dan berahi, rinndu dan dendam, ingin pulang kepada asal.
Maka senantiasalah murid tadi naik tingkatnya, dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi, sampai mencapai derajat Tauhid dan Irfan. Dan kedua martabat yang berhakikat satu itu yaitu setinggi-tingginya kedudukan. Dan tidaklah akan tercapai tanpa melaluinya, yaitu sebelum mendapat Zauq dan Ajaan.
2. Kasyaaf (terbukanya tabir)
Untuk mencapai kasyaf harus melalui mujahadah tadi, apabila diri yang sebenarnya itu telah terlepas daripada ikatan syahwat, secara gamblang telah dibendung dan dimatikan, maka terbukalah tabir itu. Sebab cadar (selubung) yang menghambat kita untuk mencapainya, ialah hawa nafsu dan syahwat itu. Apabila indera lahir telah tertutup, maka dengan sendirinya kian terbukalah perjalanan indera batin. Perjalanan itulah yang bernama suluk, yang menempuhnya disebut salik. Apabila kasyaf itu telah tercapai, maka si Salik dapatlah mengenal satu alam yang ghaib-ghaib. Mulai dari sifat Rabbaniyah, 'rasy dan kursi, malaikat dan rahasia wahyu, rahasia nubuat dan roh, dan hakikat tiap-tiap yang maujud, baik yang ghaib atau yang nyata. Pada intinya, mendapatlah dia kurnia keutamaan Tuhan (Al Mawahib Al Rabbaniyah) dan ilmu yang meliputi (Al Ulum ul Laduniyah).
3. Kiramat
Apabila orang telah sampai pada tingkatan yang setinggi itu, yang ia telah lepas dari pada ujian Mujahadah dan telah mendapatkan kasyaf, masuklah ia dalam derajat wali. Dia mempunyai kebesaran dan ketinggian martabat jiwa mendekati Nabi. Karena itu telah mengenal dan mendapat Hakikat Wujud. Dia dapat mengetahui sesuatu hal sebelum kejadian. Dia berkuasa bertasaruf di dalam alam yang rendah ini, sehingga dapat menuruti kehendaknya.
Munculnya kepercayaan akan adanya wali ini, kemudiannya telah bercampur baur dengan adanya quthb, yang kadang-kadang juga dinamai ra'sul 'arifin, yaitu pintu puncak dari segala orang yang 'Arif. Katanya, Quthb itulah yang mengatur perjalanan dunia ini, dan jumlahnya tujuh orang. Dan mereka tidak dikenal , keculai oelh orang yang telah masuk juga ke perjalanan itu. Apabila seorang Quthb telah meninggal dunia, maka ia diganti Tuhan dengan salah seorang dari pada Ahlul Irfan yang dibawanya, yang bernama Ibdaal. Kata sebagian lagi ada dua belas orang, dan kata yang lain juga ada dua puluh orang. Dibawah ibdaal itu ialah autaad. JUmlahnya empat puluh orang.
Secara panjang lebar diterangkan oleh Ibnu Khaldun didalam pembukaannya, bahwasanya kepercayaan tentang wali, Quthb, Ibdaal, dan seterusnya, jelaslah sudah kemasukan dari pada kepercayaan Syiah Batiniyah dan Ismailiyah, dan Rafidhah.
4. Syathahaat
Syathahaat adalah merupakan kata-kata aneh, yang kadang-kadang tidak masuk akal.
Sebab itu bukanlah persoalan yang muncul dari akal semata, melainkan dari pada semata rasa. Kadang dia berkata "subhaani" (maha suci aku), "ma azhama sya'ni" (alangkah maha besarnya diriku), sebagaimana pernah diucapkan oleh Abu Yazid Bustami dahulu., atau "Anal Haqq" (Akulah kebenaran itu) sebagaimana yang diucapkan oleh Al Hallaj. Perkataan itu kadang-kadang amat dalam, sulit difahami dan mengandung banyak arti ta'wil. Lebih banyak menggunakan perlambang dan rumuz. (lambang-lambang).
Karya karya Jalaluddin Rumi, Hafiz Shirazi, Ibnu Arabi, Ibnul Faridh, Suhrawardi, dan lain-lain, banyak sekali menggunakan rumuz demikian. Pendek kata pada abad keenam dan ketujuh Hijriyah penuhlah dengan hal ihwal yang demikian, sebagai pendekatan atau usaha menggabungkan antara Tasawuf yang seluruhnya bergantung kepada rasa hati, dengan filsafat yang menghendaki perjalanan pikiran.
Dikarenakan oleh hal itulah maka Tasawuf abad keenam dan ketujuh Hijriyah, terpengaruh oleh nama yang dipilih oleh Suhrawardi, yaitu "Himat ul Isyraaq". Yaitu Hikmah yang didapat dengan sinar cahaya Matahari Pagi. Dalam kalimat kata Hikmat itu terkandunglah filsafat dan pikiran tempatnya. Dan dalam kata Isyraaq tersimpanlah cahaya matahari terbit karena kebersihan rohani dalam mencari tujuan. Hati sanubari tempatnya.