Tak dapat dihindari kemajuan ummat yang diakibatkan oleh kemajuan zaman, menyebabkan Islam sebagai agama yang meliputi, telah menimbulkan cabang-cabang ilmu. Adalah ilmu Usuluddin, yaitu ilmu tentang pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam. Maka termasuklah dalam bidang ilmu itu segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan tentang Iman. Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada kitab-kitab, kepada Rasul, kepada hari kiamat dan iman kepada takdir Allah (Qada dan Qadar). Ilmu Usuluddin ini dapat pula dinamai teologi. Setelah ilmu ini berkembang, dengan sendirinya muncullah cabang-cabang ilmu yang lain, yang dinamai ilmu Kalam. Yang asal artinya ialah ilmu kata-kata. Maksudnya mempertahankan usuluddin tadi dari serangan-serangan luar, setelah masuk ke dalam masyarakat Muslimin aliran-aliran filsafat yang banyak ragamnya, yang kadang-kadang satu sama lainnya saling berlawanan, ada yang menguatkan keyakinan adanya Tuhan, dan ada yang mengatakan tidak ada. Ada filsafat Dahriy, atau Mazhab Jauhar ul Fard (Antonisme) yang menolak segala macam yang berhubungan dengan jiwa, ghaib, malaikat, Tuhan dan sebagainya. Maka adalah ilmu kalam sebagai pertahanan untuk menguatkan usuluddin.
Selain ilmu usuluddin muncullah yang dinamakan ilmu Fiqih, asal kata dari fiqih adalah faham. Jelasnya adalah ilmu cara memahamkan syari'at, hukum perintah dan larangan, wajib dan haram. Tentang ibadah, mu'amalah (hukum sipil) hukum kerumah tanggaan (nikah, tala', ruju') dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Termasuk juga hukum jinayat, yaitu pelanggaran-pelanggaran hak (kriminal), Maka ilmu fiqih tadipun berkeinginan kepada prinsip yang kokoh, yaitu aturan-aturan berpikir yang menyerupai manthik (rasio), atau manthiknya fiqih. Itulah yang dinamakan Ilmu Ushul Fiqhi. Disinilah tumbuhnya ijtihad (kesungguhan menyelidiki hukum), menyesuaikan hukum furu' (cabang) dengan hukum ashal (pokok) dan seterusnya. Dari sinilah pada akhirnya muncul Mazhab-Mazhab.
Semua yang disebutkan dalam ilmu fiqih itu adalah mengenai amalan lahir. Sebab itulah ilmu fiqih dinamai juga ilmu zahir. Maka dikarenakan adanya ilmu zahir, dengan sendirinya ada pula ilmu batin. Bukankah semua syari'at itu kita kerjakan harus dengan hati patuh? Dan siapa Tuhan itu? Dan siapa kita? Kita diperintahkan mengerjakan hal-hal yang baik dan dilarang mengerjakan hal-hal yang buruk (jahat). Kita akan diberi pahala apabila mematuhi perintahNya dan menjauhi (menghindari) laranganNya. Tetapi apakah hubungan kita dengan Tuhan itu hanya hubungan ibarat seorang majikan yang memberi gaji dengan pekerjanya, atau apakah hubungan kita itu lebih tinggi tingkatnya dari itu, yaitu karena cinta?
Disinilah awal ilmu Tasawuf.
Apakah dikatakan ilmu, dengan arti ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada pendapat otak dan manthik, tidaklah selalu tepat. Karena Tasawuf lebih banyak berdasarkan kepada pengalaman batin. Orang-orang yang telah lebih banyak berdasar kepada pengalaman batin. Orang-orang yang telah lebih tinggi pengalaman batinnya, yang dinamai mereka riadhah (latihan batin), memberikan petunjuk-petunjuk pengalaman itu kepada murid-muridnya.
Terkadang perjalanan mereka terlalu jauh menyimpang dari apa yang dicapai oleh orang-orang yang berbuat dengan ilmu zahir tadi.
Kaum shufi pun tidak banyak memakai kata-kata ilmu. Mereka lebih banyak memakai kata-kata ma'rifat, yaitu kata-kata yang lebih tinggi derajatnya dari pada ilmu. Sebab itu orang yang alim (berilmu) dalam pandangan mereka, belumlah setingkat dengan orang yang arif (ma'rifat). Pengalaman-pengalaman mereka dalam latihan batin tadi, rahasia-rahasia yang terbuka dalam ilham, jauh lebih tinggi dari pada suatu kesimpulan yang di dapat dengan manthik. Ilmu kaku dan tidak mengingat nilai, tetapi ma'rifat berisi keindahan yang dirasai batin lantaran isyq, yaitu kerinduan mengetahui. Ilmu hanya semata-mata mencari jawab dari pertanyaan, Apa? dan Bagaimana? Tetapi ilmu tidak dapat menjawab Dari mana? Kemana?
Oleh karena kaum fiqih semata-mata berpikir sedangkan kaum shufi mengutamakan rasa, sehingga mereka tidak dapat bertemu, dikarenakan perbedaan yang sangat jauh. Oeh sebab itulah sering terjadi pertentangan-pertentangan, karena perbedaan pandangan tadi.
Pandangan umum dari pada ahli Tasawuf, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Suhrawardi dalam kitabnya "Awarif ul Ma'rifat", segala kepatuhan (Inqiaad). JIwa mereka telah dikokohkan diatas sendi ketaqwaan,dan zuhud terhadap dunia yang tidak kekal, yang cepat hilang dan cepat pergi. Lembah jiwa mereka telah dibanjiri oleh air mata ma'rifat dan ilmu yang haq. Mereka memandang segala ayat dn segala hadits dalam arti yang simbolik, artinya tidak semata-mata melihat yang tertulis (secara kontekstual), tetapi menyebrang kesebalik nash ini. Ilmu mereka menurut jalan sendiri, yang diterima secara turun menurun oleh murid dari pada gurunya, dan guru dari pada gurunya lagi.
Tetapi pemimpin-pemimpin Tasawuf yang besar dan dalam, memandang bahwasanya gabungan diantara ilmu batin dan ibadah yang lahir itu adalah puncak kebahagiaan dari pada Tasawuf. Tasawuf adalah pakaian hati didalam melaksanakan amal ibadah, rukun dan syari'at. Zuhud dari pada dunia, cinta akan akhirat. Tidak diikat oleh yang fanaa dan akan hilang, tetapi hati tertambat kepada yang kekal (baqa) dan abadi.
Dunia semata-mata hanya bagaikan fatamorgana, gejala panas di padang pasir, yang disangka oleh orang yang kehausan adalah air yang sejuk, tetapi ketika didatangi kesana, tidak terdapat apapun. Batin mesti suci, jiwa mesti bersih.
Tetapi sebagi ahli Tasawuf yang sejati, menjunjung tinggi akan syari'at, dan mematuhinya tanpa alasan, demikian juga ulama-ulama fiqih yang tinggi.
Mari kita kemukakan lagi sedikit penjelasan tentang pandangan kaum shufi yang tidak banyak mempergunakan pertimbangan apakah ini haram atau makruh, apakah ini wajib ataukah sunnah. Bila mereka bertemu dengan satu perintah atau larangan, mereka akan turuti dan hentikan dengan ridha dan patuh. Kadang-kadang suatu Hadits yang dipandang dha'if oleh ahli hadits, diamalkan oleh ahli Tasawuf dengan tidak banyak menanyakan siapa perawi nya. Wirid-wirid yang dipandang hanya sunnah, atau Fadailil a'maal, oleh kaum fiqih, karena adanya pertimbangan pertimbangan, bagi kaum Tasawuf diamalkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi setelah mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-sehari, mereka bertemu dengan khasiat-khasiat doa dn sebagainya. Seumpama ayat Fatihah, Ibnul Qayyim menganjurkan dalam kitabnya Madarijus Salikin, bagaimana kebesaran khasiat Fatihah itu. Beliau sendiri mengalaminya, saat beliau thawaf mengelilingi ka'bah dengan susah payah, karena panas yang sangat terik. Tetapi setelah beliau membaca Fatihah dengan hati khusyu', kesusahan itu hilang dengan sendirinya. Beliau dikenal sebagai orang yang menguasai ilmu fiqih dan hadits.
Apa lagi saat beliau bertemu dengan hadits atau riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW dan sahabatnya memang pernah menggunakan bacaan-bacaan demikian didalam suatu masalah dan melepaskan diri dari kesulitan. Sebagaimana pernah di zaman Nabi SAW seorang sahabat Nabi singgah di satu dusun dalam suatu perjalanan jauh. Anak kepala dusun itu disengat kalajengking. Lalu dibaca oleh sahabat itu surat Fatihah, dan diludahinya tempat yang disengat kalajengking itu, maka hilanglah sakitnya.
Disamping kaum fiqih menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui suatu hukum, mereka pun menyelidiki ayat dan hadits untuk mengetahui rahasia kebatinan yang terkandung didalamnya. Berkat yakinnya dan kebersihan jiwanya, mendapatlah dia dalam ruangannya, sebagaimana yang didapati ahli Tasawuf dalam lain ruangannya pula.
Sebagai contoh, kaum fiqih ingin menyelidiki tentang sanad riwayat shalat sunnah. Dia menyampaikan pendapat tentang shalat sunnah yang ma'tsur (yang berasal dari Nabi SAW) adalah sekian raka'at. Ada shalat sunnah Qabliyah dan ada shalat sunnah Ba'diyah, ada shalat malam, ada shalat Dhuhaa dan yang lainnya, dengan raka'at yang tertentu. Tetapi kaum shufi shalat sunnah ada yang sampai 100 raka'at sehari semalam. Junaid Al Baghdadi mewiridkan shalat sunnah 400 raka'at sehari semalam
Sultan Abdul Kadir Al Jazairi, pahlawan satria Islam yang berjuang di Algeria melawan kekuasaan Perancis pada penghujung abad kesembilan belas, adalah seorang shufi akan rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur'an. Maka dicatatnyalah pendapatnya itu dalam suatu kitab besar yang bernama Al Mawaqif, terdiri dari beberapa jilid.
Yaqin mereka terbagi menjadi tiga kedudukan, yaitu ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin.
Kedudukan yang pertama adalah ilmu yaqin, yang dimaksud dengan ilmu yaqin, yaitu pengetahuan-pengetahuan kebatinan yang telah dituntunkan oleh guru (syekh) kepada muridnya, sebagai pelita bagi murid dalam perjalanannya yang jauh dan sulit itu (suluk). Apabila murid telah melangkah sendiri, maka akan didapatnya ainul yaqin sebagai kedudukan yang kedua. Ini berkat sabarnya menuntut dan mencari jalan. Ainul yaqin ialah pengalaman-pengalaman dan perasaan yang dirasai karena kasaf (terbuka rahasia) dan musyahadah (menyaksikan) apa yang dicari. Dari sanalah kelak akan naik kedudukannya pada tingkatan yang ketiga yaitu haqqul yaqin, yaitu fanaanya seorang hamba pada yang haqq Allah.
Melalui fanaa ialah untuk menuju baqaa. Fanaa artinya lenyap hilang diri ke dalam Tuhan. Apabila diri telah lenyap ke dalam Tuhan, dengan sendirinya tercapailah baqaa, yaitu kekal sebab Tuhan itu kekal adanya.
Dalam hal ini sering mereka terbentur dengan ketentuan-ketentuan kaum fiqih, yang hanya menimbang sesuatu hal dari segi otak. Menghitung segala sesuatu dengan tingkat-tingkat ilmu manthik (praimisse, konklusi, mukadimah shughra, mukadimah kubra dan natijah). Dengan sendirinya Ahli fiqih menanyakan kepada ahli tasawuf, apa yang dimaksudkan dengan fanaa dan baqaa itu? Apakah maksudnya diri baersatu dengan Allah? Apakah bersatunya itu berarti diri telah menjadi Allah juga? Kalau begitu sesatlah itu.
Tetapi bagaimana perselisihan perkara ini semakin membesar? padahal mazhab tasawuf adalah mazhab perasaan. Alangkah banyaknya manusia di dunia ini mencapai suatu perasaan murni, tetapi tidak dapat mengatakan kepada orang lain dalam bentuk pikiran yang teratur. Sebab itu orang tasawuf memakai pepatah yang terkenal : "Man lam yazuq lam ya'rif" (barang siapa yang belum pernah merasainya, belumlah ia akan tahu).
Sebagaimana kita jelaskan tadi bahwa, Ahli-ahli fiqih yang besar kebanyakan mempunyai pula kehidupan Tasawuf yang tinggi, yang tidak keluar daripada garis-garisan yang ditentukan oleh teladan sunnah Nabi SAW. Imam Malik bisa dikatakan tidak kering wajahnya dari air wudhu. Apabila beliau akan mengajarkan hadits, yang telah disusunnya di dalam kitabnya yang terkenal Al Muwattha, lebih dahulu diambilnya wudhu, dan dengan sangat hormat dan ta'zim dia duduk bersimpuh di dekat makam Rasulullah SAW.
Imam Syafi'i pernah bertamu di rumah Imam Ahmad bin Hanbal dan bermalam disana. Tengah malam bangunlah Imam Ahmad bin Hanbal hendak shalat tahajjud. Dengan melangkah diam-diam dia lalu di dekat beliau tidur, takut beliau terbangun. Tetapi di dapatinya beliau sedang duduk berzikir. Lalu dibangunkannya anak perempuannya, agar anaknya melihat dengan mata dan kepalanya sendiri, bagaimana ibadah gurunya itu, yang tidak berhenti zikir dan shalat sampai masuk waktu shubuh.
Ketika ditanya orang kepada Imam Ahmad bin Hanbal sendiri apakah arti zuhud. Maka sebagai ulama fiqih yang besar, beliau telah memberikan jawaban yang sangat indah dalam pandangan ahli tasawuf, kata beliau: zuhud adalah tiga rupa, pertama meninggalkan yang haram. Itulah zuhudnya orang awam (orang kebanyakan), kedua meninggalkan yang tidak perlu, itulah zuhudnya orang khawash (orang-orang utama), ketiga meninggalkan segala perkara yang akan merintangi kita dalam mengingat Allah, Itulah zuhudnya orang-orang 'arifin.
Kehidupan zuhud yang tinggi itupun terdapat pada diri Imam abu Hanifah (Hanafi). Beliau berani menentang hidup didalam serba kesulitannya, dan berani dengan jiwa yang merdeka pendapat-pendapat dan ijtihadnya, jangan sampai mengemis kepada orang yang mampu, beliau berusaha dan berdagang. Imam Hanafi berjualan kain. Tetapi keuntungan yang didapatnya digunakannya untuk beramal, kadang-kadang dimerdekakannya budak-budak dengan keuntungan perdagangan, dan beliau sendiri hidup dengan sangat sederhana.
Pada akhirnya kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan Tasawuf dan fiqih, gabungan otak dan hati. Dengan fiqih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak merasa berat di dslsm melakukan segala kehendak agama itu.
Kalau kita teliti kepada bunyi hadits tentang Islam, Iman dan Ihsan nampaklah bahwa ketiga ilmu, yakni fiqih, Ilmu Ushuluddin dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu.
Islam diartikan oleh hadits itu ialah mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan naik haji. Untuk mengetahui ini, sehingga kita mengerjakan perintah agama dengan tidak sembarangan maka kita pelajarilah fiqih.
Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Rasul-rasul dan Kitab, dan iman kepada Hari Kiamat dan Takdir buruk dan baik mesti terjadi, karena ketentuan Tuhan. Maka kita mempelajarinya lewat Ushuluddin atau ilmu kalaam.
Ihsan adalah kunci dari semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Tuhan, seakan-akan Tuhan itu kita lihat dihadapan kita sendiri. Karena meskipun mata kita tidak dapat melihat Tuhan, namun Tuhan tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam Tasawuf.
Itulah hubungan antara Islam, Iman dan Ihsan, yang untuk mencapai ketiganya melalui ilmu Fiqih, Ushuluddin dan Tasawuf.