Tentang permasalahan Bersuci dan Tingkatan-Tingkatannya

Rosulullah SAW bersabda:

                                                                  مفتاح الصلاه الطهور

Miqtaahush sholaatizh zhuhuuru

"Kunci sholat itu adalah kesucian"

Allah SWT berfirman:

                                 فيه رجال يحبون ان يتطهرواواالله يحب المتطهرين

Fiihi rijaalu yuhibbuuna an yatathohharuu wallahu yuhibbul mutathohhiriina

"Didalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. ( Attaubah ayat 108 )

Berdasarkan ayat dan hadits diatas , maka orang-orang yang berhati harus berpikir, bahwa pekerjaan yang terpenting adalah mensucikan segala rahasia hati.

Bersuci itu sendiri terdiri dari beberapa tingkatan, diantaranya :

1. Mensucikan zhohir dari segala hadats, kotoran dan benda menjijikkan.
2. Mensucikan anggota badan dari segala perbuatan dosa, noda dan jahat.
3. Mensucikan hati dari segala pekerti tercela serta sifat-sifat yang rendah lagi terkutuk.
4. Mensucikan Assiir (rahasia batin) dari sesuatu selain Allah.

Itulah bersucinya para Nabi dan Siddiqiin.

Bersuci dari masing-masing tingkatan itu merupakan sebagian dari yang ada di dalamnya. Dan tujuan akhir dari pada amal perbuatan assir tersebut ialah terbuka baginya kebesaran Allah Ta'ala. Dan tidaklah ma'rifat itu bertempat pada bathin dengan sebenarnya, selagi sebelumnya tidak berangkat dari selain Allah.

Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :

                                                      قل الله ثم ذرهم في خوضهم يلعبون

Qulillahu tsumma dzarhum fii khowdlihim yal'abuuna

"Katakanlah Allah yang menurunkanNya (kemudian setelah engkau menyampaikan Al Quran kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan" ( Al An'am ayat 91 )

Penyebabnya adalah karena keduanya tidak bisa berkumpul di dalam hati, sebagaimana Firman Allah Ta'ala juga :

                                                     ماجعل الله لرجل من قلبين في جوفه

Maa ja'ala llahu li rojulin min qolbayni fii jawfihi

"Allah tidak menjadikan seseorang mempunyai dua hati dalam dadanya" (Al Ahzab ayat 4)

Sedangkan amaliyah hati itu, maka tujuan akhirnya agar hati tersebut memiliki budi pekerti terpuji dan beraqidah dengan aqidah yang diajarkan, dan hati itu tidak akan dapat mencapai yang demikian sebelum dibersihkan dari sebaliknya, yaitu berupa aqidah yang salah serta sifat-sifat rendah dan terkutuk. Jadi yang dimaksud dengan penyucian hati itu salah satu dari dua bagian, dimana dia adalah bagian yang pertama yang menjadi syarat pada bagian yang kedua. Itulah yang dimaksud bahwa kesucian itu setengah dari iman menurut pengertian ini.

Demikian juga mengenai penyucian anggota badan dari semua hal yang dilarang, adalah salah satu dari dua bagian, yaitu bagian pertama yang menjadi syarat untuk bagian yang kedua.

Berdasarkan hal itu maka,penyucian anggota badan dari segala macam hal yang dilarang, adalah salah satu dari dua bagian, yaitu bagian pertama menjadi syarat bagian yang kedua. Jadi pencucian hati adalah salah satu dari dua bagian, yaitu bagian pertama, sedangkan perwujudan anggota badan dengan segala macam ta'at adalah bagian yang kedua.

Maka inilah maqam-maqam iman itu, dimana masing-masing maqam mempunyai tingkat. Dan tidaklah seorang hamba mencapai tingkat yang tinggi, melainkan melalui tingkat bawah terlebih dahulu. Demikian juga tidak akan sampai pada kesucian bathin, dari segala sifat tercela dan mewujudkannya dengan budi pekerti terpuji, selama ia belum mensucikan anggota badan dari segala yang dilarangnya dan mewujudkannya dengan berbagai macam keta'atan.Tiap-tiap yang dicari itu tinggi dan mulia, maka memang sulit dan banyak rintangannya.

Dan jangan menduga, bahwa hal ini bisa didapat hanya melalui angan-angan dan keinginan saja. Memang siapa saja yang buta mata hatinya dari kurang lebihnya tingkatan-tingkatan ini, maka ia tidak bisa memahaminya selain dengan pemahaman dan penyucian yang terakhir, yaitu ditinjau dari kesucian lahiriyah, sedangkan dhohirnya hanya kosong. Maka jadilah ia orang yang selalu memperhatikan kesucian lahir, seperti : menghabiskan waktunya hanya untuk beristinja', mensucikan kain mencari air  banyak yang mengalir, sebab ia terpangaruh oleh dugaan, bisikan syetan dan khayalan akal pikiran, bahwa yang dimaksud kesucian itu hanya itu-itu saja. Sedang bagi mereka yang mengerti akan perjalanan orang-orang terdahulu yang shalih-shalih, mereka pusatkan segala energi dan pikirannya pada pensucian hati dan tidak terlalu mementingkan kepentingan lahir.

Dan diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab dengan kedudukannya yang tinggi, pernah berwudhu dengan kendi orang Nasrani. Bahkan orang-ornga dahulupun tidak pernah membasuh tangannya dengan debu dari bekas makanannya, tetapi menyapukannya dengan tumit kakinya. Dan mereka menilai kain lap itu sebagai hal yang bid'ah. Mereka mengerjakan sholat diatas lantai di masid, berjalan dengan kaki telanjang tanpa alas tempat tidurnya, padahal mereka termasuk mencukupkan dengan batu saja ketika beristinja'.

Abu Hurairah dan yang lain dari golongan ahli tasawuf berkata : "Kami sedang makan daging bakar, lalu terdengar iqamat untuk shalat, lalu kami masukkan jari-jari kami kedlam batu kecil, kemudian kami gosok-gosokan dengan tanah dan kami bertakbir".
Sayyidina Umar juga berkata :"Pada masa Nabi SAW  kami tidak mengenal kain lap, dan sesungguhnya sapu tangan kami adalah tapak kaki kami. Maka saat kami makan makanan yang beminyak, lalu kami sapukan dengan tapak kaki itu".

Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa bid'ah pertama lahir sesudah Rasululllah SAW ada empat : ayakan tepung, kain lap, meja makan dan kenyang. Mereka saat itu lebih mengutamakan pada kebersihan bathin, sehingga diantara mereka ada yang mengatakan: Mengerjakan shalat didalam alas kaki adalah lebih utama, saat ia melihat Rasulullah membuka alas kakinya, atas saran Jibril AS kepadanya, bahwa kedua alas kakinya ada najis, maka dengan perbuatannya tersebut orang lainpun membuka alas kakinya, yang kemudian Nabi SAW bertanya : "Mengapa kamu membuka alas kakimu?" Imam Annaqa'i berkata: "Aku lebih suka jikalau yang melakukan itu orang yang memerlukan, lalu datang dan mengambilnya". Perkataan ini sebagai tanda bahwa Annaqa'i menentang tentang keharusan dibuka alas kaki itu.

Begitulah orang-orang yang terdahulu menganggap ringan dalam hal-hal tadi, bahkan mereka berjalan diatas tanah tanpa alas kaki. Mereka duduk diatas lantai. Melakukan shalat di atas lantai masjid-masjid. Mereka tidak terlalu mempertanyakan mengenai najis yang halus-halus.

Berbanding terbalik dengan zaman sekarang, yang mengatakan bahwa berdandan itu adalah suatu kebersihan. Dan mereka mengatakan pula bahwa kebersihan itu tempat berdirinya agama. Lalu mereka menggunakan sebagian waktu mereka untuk menghiasi lahiriyah mereka, sepertinya halnya yang dilakukan oleh anak-anak muda. Sedangkan hati mereka rusak, penuh segala macam kekejian, seperti takabbur, ujub, bodoh, riya' dan nifaq. Mereka tidak berusaha menghilangkannya dan merasa kuatir sedikitpun.

Post a Comment

Previous Post Next Post